Selamat Datang di Blog Saya

Selamat Datang di Blog Saya, Semoga Bermanfaat.

Kamis, 26 Maret 2020

KONSEP DESA LAMA DAN DESA BARU


Semua berangkat dari cara pandang (perspektif). Cara pandang membimbing kebijakan, regulasi, program dan tindakan. Hitam putihdesa selama ini tentu juga tidak lu put dari cara pandang para pihak.Ada banyak cara pandang terhadap desa, namun kami hendak membeberkantiga cara pandang dominan.Pertama, cara pandang yang melihat desa sebagai kampung halaman. Ini muncul dari banyak orang yang telah me rantau jauh dari desa kampung halamannya, baik melalui jalur urbanisasi, transmigrasi atau mobilitas sosial. Para petinggi maupun orang-orang sukses dikota-kota besar begitu bangga menyebut dirinya “orang desa” danbangga bernostalgia dengan cara bercerita tentang kampung halamannya yang tertinggal dan bersahaja. Fenomena mudik lebaran yanghingar bingar, tetapi juga membawa korban jiwa yang tidak sedikit,setiap tahun juga menjadi contoh terkemuka tentang nostalgia paraperantau terhadap kampung halamannya dan sanak saudaranya. Cara pandang ini tidak salah. Tetapi di balik cara pandang personal itu tentuada yang salah dalam pembangunan, mengapa urbanisasi terus mengalir,mengapa pembangunan bias kota, mengapa desa tidak mampu memberikan kehidupan dan penghidupan.
Kedua, cara pandang pemerintahan yang melihat desa sebagaiwilayah administrasi dan organisasi pemerintahan paling kecil, paling bawah dan paling rendah dalam hirarkhi pemerintahan di Indonesia.Ketiga, cara pandang libertarian yang memandang desa sebagai masyarakat tanpa pemerintah dan pemerintahan. Cara pandang iniyang melahirkan program-program pemberdayaan masuk ke desadengan membawa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang diberikankepada kelompok-kelompok masyarakat, seraya mengabaikandan meminggirkan institusi desa.
Ketiga cara pandang itu tidak memiliki sebuah imajinasi tentangdesa sebagai “negara kecil”. Desa bukan sekadar kampung halaman,pemukiman penduduk, perkumpulan komunitas, pemerintahan terendahdan wilayah administratif semata. Desa laksana “negara kecil” yangmempunyai wilayah, kekuasaan, pemerintahan, institusi lokal, penduduk,rakyat, warga, masyarakat, tanah dan sumberdaya ekonomi.Setiap orang terikat secara sosiometrik dengan masyarakat, institusilokal dan pemerintah desa. Tidak ada satupun elemen desa yang luputdari ikatan dan kontrol desa. Survai Bank Dunia, Justice for the Poor(2007), misalnya, memperlihatkan bahwa warga lebih banyak memilih kepala desa (42%) dan tokoh masyarakat (35%) ketimbang pengadilan(4%), dalam menyelesaikan masalah dan mencari keadilan.

Melalui regulasi itu pemerintah selama ini menciptakan desa sebagaipemerintahan semu (pseudo government). Posisi desa tidakjelas, apakah sebagai pemerintah atau sebagai komunitas. Kepaladesa memang memperoleh mandat dari rakyat desa, dan desa memangmemiliki pemerintahan, tetapi bukan peme rintahan yang palingbawah, paling depan dan paling dekat de ngan masyarakat. Pemerintahdesa adalah organisasi korporatis yang menjalankan tugas pembantuandari pemerintah, mulai dari tugas-tugas administratif hinggapendataan dan pembagian beras miskin kepada warga masyarakat.Dengan kalimat lain, desa memiliki banyak kewajiban ketimbang kewenangan,atau desa lebih banyak menjalankan tugas-tugas dari atas ketimbang menjalankan mandat dari rakyat desa. Karena itu pemerintahdesa dan masyarakat desa bukanlah entitas yang menyatu secarakolektif seperti kesatuan masyarakat hukum, tetapi sebagai dua aktoryang saling berhadap-hadapan.
 



Selasa, 24 Maret 2020

KONSEP PEMERINTAHAN DESA

            Dari segi etimologi, kata Desa berasal dari bahasa sansekerta yaitu berasal dari kata Deshi yang artinya “Tanah Kelahiran” atau “Tanah Tumpah Darah”. Selanjutnya dari kata Deshi itu terbentuk kata Desa (Kartohadikusumo, 1988 : 16) Desa adalah sebagai tempat tinggal kelompok atau sebagai masyarakat hukum dan wilayah daerah kesatuan administratif, wujud sebagai kediaman beserta tanah pertanian, daerah perikanan, tanah sawah, tanah pangonan, hutan blukar, dapat juga wilayah yang berlokasi ditepi lautan/danau/sungai/irigasi/ pegunugan, yang keseluruhannya merupakan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Hak Ulayat Masyarakat Desa ( Kartohadikusumo, 1988 : 16 ). Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa Desa tidak lagi merupakan wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksanaan daerah, tetapi menjadi daerah yang istimewa dan bersifat mandiri yang berada dalam wilayah Kabupaten sehingga setiap warga Desa berhak berbicara atas kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup dilingkungan masyarakatnya.
 
         Pemerintah Desa menurut Dra. Sumber Saparin dalam bukunya “Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa”, menyatakan bahwa: “Pemerintah Desa ialah merupakan simbol formal daripada kesatuan masyarakat desa. Pemerintah desa diselengarakan di bawah pimpinan seorang kepala desa beserta para pembantunya (Perangkat Desa), mewakili masyarakat desa guna hubungan ke luar maupun ke dalam masyarakat yang bersangkutan”. Sedangkan pengertian Pemerintah Desa menurut Peraturan Daerah tentang Pedoman Organisasi Pemerintah Desa, yang menyatakan bahwa Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa.

         Sedangkan secara terminologis desa sebagai entitas sosial sangat beragam, yaitu sesuai dengan maksud dan sudut pandang yang hendak digunakan. Sebutan desa dapat berupa konsep tanpa makna politik, namun juga dapat berarti suatu posisi politik dan sekaligus kualitas posisi dihadapan pihak atau kekuatan lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa desa adalah :
(1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan kampung, dusun;
(2) udik atau dusun, dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota;
(3) tempat, tanah, daerah.
 
        Secara ekonomi yang lebih menekankan sisi produksi, melihat desa sebagai komunitas masyarakat yang memiliki model produksi yang khas dan merupakan lumbung bahan mentah (raw material) dan sumber tenaga kerja (man power). Desa-desa di Jawa banyak berfungsi sebagai desa agraris yang menunjukkan perkembangan baru yaitu timbulnya industri-industri kecil di daerah pedesaan (rural industries). Mohamad Hatta, sebagaimana dikutip Tjiptoherianto dikatakan: “di desa-desa sistem demokrasi yang masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian dari adat istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama sewaktu mengadakan kegiatan ekonomi”. Secara sosiologis, desa digambarkan sebagai bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan yang saling mengenal. corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam, mempunyai sifat sederhana dengan ikatan sosial dan adat serta tradisi yang kuat.

          Sedang secara yuridis dan politis, yang lebih menekankan kepada tata aturan yang menjadi dasar pengaturan kehidupan masyarakat, terdapat dua konsep desa, yaitu : Desa yang diakui, yakni Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang disebut dengan nama-nama setempat dan Desa dibentuk, yakni desa yang diakui oleh pemerintah berdasarkan UU. Hal ini berarti bahwa desa dipandang sebagai suatu pemerintahan terendah di Indonesia atau kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai identitas dan entitas yang berbeda-beda, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa atau memiliki wewenang mengadakan pemerintahan sendiri.

          Sedangkan dari perspektif historis, desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum negara-bangsa modern ini terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Desa-desa yang beragam di seluruh Indonesia sejak dulu merupakan basis penghidupan masyarakat setempat, yang notabene mempunyai otonomi dalam mengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya ekonomi. Dilihat dari perspektif terminologis, ekonomis, sosiologis, yuridis, politis dan historis di atas, desa pada hakekatnya merupakan bentuk pemerintahan yang riil, demokratis, otonom dengan tradisi, adat-istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar sangat kuat, serta relatif mandiri dari ”campur tangan” entitas kekuasaan dari luar.

           Pemerintahan Desa merupakan bagian dari Pemerintahan Nasional yang penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Pemerintah Desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyrakat (Maria Eni Surasih, 2002: 23). Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah berlaku kebijakan Pemerintah Desa dengan Undang-Undang Pemerintah Desa No. 5 Tahun 1979 yang menyatakan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan tersebut memuat konsep hak untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, namun juga disebutkan bahwa desa merupakan organisasi pemerintahan terendah dibawah camat.
 
            Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul desanya. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipandang terlalu liberal dan federalistik, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan NKRI. Pembagian kewenangan terlalu mutlak pada daerah membuat perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerahah tidak proporsional, sehingga kontrol pusat dan provinsi terhadap daerah hilang. Dikhawatirkan Undang-Undang ini rentan melahirkan konflik dan masalah ditengah masyarakat. Karena berbagai kelemahan tersebut, maka UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah diganti dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

           Dalam konteks otonomi desa terdapat perbedaan mendasar antara UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Terdapat perubahan positif dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga peraturan pelaksananya yaitu PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dapat mendorong peningkatan otonomi lokal dan desa, antara lain :
a. Ditentukannya pemilihan langsung bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 56 sampai119. Model pemilihan langsung ini membawa banyak keuntungan terutama dalam rangka demokratisasi, dimana aspirasi rakyat tidak mungkin lagi direduksi oleh kekuatan parpol.
b. Pengaturan tentang kewenangan yang menurut pasal 206 j o. Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, rasanya lebih komprehensif, karena implikasi yuridisnya juga diatur dalam pasal 10 ayat 3 dimana desa mempunyai hak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
c. Dalam pengaturan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menegaskan bahwa daerah akan mendapatkan bagian (alokasi). Hal itu tentu berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang menggunakan istilah bantuan keuangan. Bagian keuangan desa secara relatif pasti telah ditentukan dalam pasal 68 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa,yaitu sebesar minimal 10% dari hasil bagi pajak daerah dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota.

           

SEJARAH PEMERINTAHAN DESA DI INDONESIA

          Menurut Soetardjo, yang dikatakan dalam Wasistiono 2006:7, desa yang ada di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Herman Warner Muntinghe yang merupakan seorang warga Belanda anggota dari Rad Van Indie pada masa kolonial Inggris, dia merupakan pembantu Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa pada tahun 1817 di Indonesia. Dalam laporannya pada 14 Juli 1817 yang ditujukan kepada pemerintahannya, disebutkan tentang adanya desa-desa di daerah pesisir pulau Jawa dan kemudian ditemukan pula desa di luar kepulauan Jawa.[1] Mengenai sejarah terbentuknya desa itu sendiri, tidak ditemukan sumber yang pasti yang menjelaskan hal tersebut, namun mengacu pada prasasti Kawali di Jawa Barat sekitar tahun 1350M, dan prasasti Walandit di daerah Tengger di Jawa Timur pada tahun 1381 M, desa sebagai unit terendah dalam struktur pemerintahan Indonesia telah ada sejak lama dan murni dibentuk oleh rakyat Indonesia, bukan bentukan atau warisan Belanda. Ada pula yang berpendapat bahwa terbentuknya desa itu diawali terlebih dahulu dengan terbentuknya kelompok masyarakat dikarenakan sifat manusia sebagai makhluk sosial, dorongan kodrat, atau sekeliling manusia, kepentingan yang sama, dan adanya bahaya dari luar.
          Walaupun sejarah terbentuknya desa tidak diketahui secara pasti, namun sejarah perkembangan pemerintahan desa bisa kita pelajari. Sejarah pemerintahan desa dapat dikelompokkan ke dalam empat periode, yaitu: desa pada masa kerajaan, desa pada masa kolonial, desa pada pasca kemerdekaan, desa pada masa orde baru, dan desa pasca orde baru. Pada masa kerajaan, desa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu desa alami dan desa perdikan. Sedangkan pada masa kolonial atau yang sering disebut dengan Pemerintahan Hindia Belanda, desa atau pemerintahan desa diatur dalam pasal 118 jo pasal 121 I.S. yaitu Undang-undang Dasar Hindia Belanda. Dalam pasal ini, pada intinya menjelaskan bahwa penduduk negeri atau asli dibiarkan menghadap langsung  kepada pimpinannya sendiri,sedangkan untuk aturan yang lebih lengkap dan jelas diatur dalam aturan yang disebut dengan IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten) LN 1938 No. 490. Aturan ini berlaku sejak 1 Januari 1939 LN 1938 No. 681.
        Berdasarkan ketatanegaraan Hindia Belanda, sebagaimana yang tersurat dalam Indische Staatsrwgwling, pemerintah Hindia Belanda memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum "Pribumi" dengan sebutan Inlandsche gementee yang terdiri dari dua bentuk, yaitu Swapraja dan Desa atau yang dipersamakan dengan desa. Kemudian untuk swapraja yang merupakan bekas kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan, mereka masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri (self bestuur) berdasarkan hukum adatnya dengan pengawasan penguasa-penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, yang disebut dengan nama Landshcap. Sedangkan bagi desa-desa atau yang disama ratakan dengan desa, yaitu mereka yang tergabung dalam Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura, dan Bali, mereka disebut dengan Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R. Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan perumusan tentang sebutan Inlandsche Gemeente yaitu: suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang mempunyai hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat dan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah kabupaten dan swapraja.
            Ketika masa penjajahan Belanda, ada peraturan perundang-undangan tentang desa, yang dinamakan dengan Inlandsche Gementee Ordonantie (IGO), undang-undang ini berlaku untuk Jawa dan Madura dan Inlandsche Gementee Ordonantie voor Buitengewesten untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura yang berlaku ketika tahun 1906.  Undang-undang ini adalah lanjutan dari adanya pasal 71 REGERINGS REGLEMENT (RR) yang dikeluarkan pada tahun 1854 sebagai bentuk pengakuan terhadap adanya desa, demokrasi, dan otonomi desa, dan pada tahun ini, pemerintah Kolonial Belanda juga mengeluarkan "Regeeringsreglement" yang merupakan cikal bakal pengaturan tentag daerah dan desa. Pada tahun 1941, Belanda mempertinggi status desa dengan mengeluarkan Desa Ordonantie. Desa diberi keluasan untuk berkembang menurut potensi dan kondisinya sendiri. Desa diberi wewenang untuk berkembang menurut potensi dan kondisinya sendiri.
             Sedangkan pada masa kolonial Jepang, pemerintahan desa digunakan untuk sumber tenaga dan sumber logistik perang Jepang melawan sekutu. Rakyat dimanfaatkan tenaganya secara paksa, dan kepala desa dijadikan pengawas rakyat. Pada masa kolonial Jepang, hukum adat tidak diganggu ataupun dihapuskan, selama itu tidak merugikan Jepang. Selama penjajahan Jepang, I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus berlaku, hanya penyebutan nama kepala desa diseragamkan menjadi Kuco, dan cara pemilhan dan pemberhentiannya diatur oleh Osamu Seirei No.7 tahun 2604 (1944). Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital untuk memenangkan "Perang Asia Timur Raya".
            Kemudian desa pada pasca kemerdakaan, hanya terdapat satu Undang-undang, yaitu UU No.19 tahun 1965 yang dikeluarkan pada masa Soekarno yang berisi tentang pencabutan desa perdikan. Setelah itu pada masa orde baru, dikeluarkan Surat Edaran Mendagri No.5/1/1969, yang menyatakan bahwa desa dan daerah setingkat secara hirarkis langsung dibawah camat dan dikeluarkan pula UU No. 5 tahun 1979 tentang penyeragaman desa. Selanjutnya pada masa reformasi atau pasca orde baru, terjadi perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintah yang membuat dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum untuk mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan asal-usul dan diakui pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
            Mengenai regulasi peraturan perundangan tentang desa, setau saya setelah belajar tentang pemerintah desa, tidak banyak Undang-undang yang khusus membahas tentang desa. Hanya ada empat Undang-undang yang membahas yaitu UU No.19 tahun 1965, UU No.5 tahun 1979, UU No.22 tahun 1999 dan yang terbaru UU No. 6 tahun 2014. Selain itu, juga ada dua Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang desa, yaitu PP No.76 tahun 2001 dan PP No.77 tahun 2005. Mengenai UU No.19 tahun 1965, UU ini mngatur tentang desa praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terbentuknya daerah tingkat III di seluruh wilayah Indonesia. Terbentuknya UU ini juga merupakan akibat dari dilakukannya dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959, sehingga segala peraturan perundangan tentang desa yang masih mengandung sifat feodal harus diganti dengan UU ini. Kemudian tentang UU No.5 tahun 1979, UU ini merupakan UU yang mengganti UU No.19 tahun 1965 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi ketatanegaraan yang ada di Indonesia. Setelah dibentuknya UU ini, diharapkan mampu menyeragamkan kedudukan pemerintahan desa dengan tetap mengindahkan keragaman kondisi desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku.
              Selanjutnya ada UU No.22 tahun 1999 yang mulai diberlakukan pada era demokrasi reformasi. Dalam UU ini disebutkan bahwa jenis dan tingkatan daerah yang berlaku yaitu daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Kemudian yang terbaru ada UU No.6 tahun 2014 yang ditandatangani pada 15 Januari 2014. Pembahasan yang ada dalam UU ini mengenai Asas Pengaturan, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masayarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa, dan Aset Desa, Kedudukan dan Jenis Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa), Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, UU Desa juga mengatur ketentuan khusus yang diberlakukan untuk desa adat yang diatur dalam Bab XIII pada UU ini.
               Sesuai dengan UU No.6 tahun 2014, desa memiliki beberapa wewenang yang dituangkan dalam BAB IV. Misalnya seperti yang tertulis dalam BAB  IV Pasal 18, kewenangan yang dimiliki desa diklasifikasikan menjadi kewenangan di bagian penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan masyarakat desa, dan pemberdayaan masyarakat desa yang didasarkan atas prakarsa masyarakat, hak asal-usul, serta adat istiadat desa. Selanjutnya, pada pasal selanjutnya (pasal 19) disebutkan lagi bahwa kewenangan desa meliputi: (a) kewenangan berdasarkan hak asal-usul; (b) kewenangan lokal berskala desa; (c) kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota; dan terakhir (d) Kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
               Keberadaan desa juga memiliki fungsi untuk Indonesia, diantaranya yaitu: (1) desa sabagai hinterland, artinya adalah desa biasanya akan lebih banyak memproduksi daripada mengkonsumsi; (2) desa sebagai sumber tenaga, dikatakan sebagai sumber tenaga karena biasanya masyarakat desa merantau untuk mencari pekerjaan di kota dan banyak perusahaan yang mencari tenaga kerja dari pedesaan; (3) desa sebagai bentuk pemerintahan, desa merupakan bentuk pemerintahan terkecil di Indonesia; dan (4) desa merupakan mitra, karena tanpa disadari desa merupakan awal dari terbentuknya kota, maka dari itu sebuah kota bisa maju atau tidak bermula dari titik desa, oleh karena itu desa bisa disebut sebagai mitra bagi pembangunan sebuah kota. Masyarakat desa bisa ditandai dengan adanya ciri-ciri sebagai berikut: (a) sisi keagamaan  masyarakat desa lebih tinggi daripada masyarakat kota, dan juga cenderung lebih rukun serta mengenal sesama dengan baik; (b) memiliki kehidupan sosial yang sangat tinggi; (c) pembagian kerjanya lebih sederhana; (d) pekerjaan masyarakatnya homogen sehingga untuk mendapatkan pekerjaan lebih susah; (e) interaksi yang terjadi lebih banyak karena faktor pribadi, bukan kepentingan; dan (f) perubahan sosial dari masyarakat desa tidak terlalu terlihat.
            Desa juga memiliki beberapa jenis yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok. Yaitu klasifikasi desa menurut aktivitasnya, perkembangannya, dan menurut ikatannya. Menurut Aktivitasnya, desa dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: (1) desa agraris yang berisikan masyarakat yang bermata pencaharian utama sebagai petani atay pemilik dan pengelola kebun; (2) desa industri, di desa ini masyarakatnya memilik pekerjaan utama di bidang insdutri baik yang berukuran kecil atau besar. contohnya seperti desa penghasil sandal cibaduyut di Bandung atau desa yang menjual telur asin di Brebes; (3) desa nelayan, di desa ini masyarakat menggantungkan hidupnya dari bekerja di laut, seperti menjadi nelayan, peternak ikan atau tambak, dan mengolah hasil laut seperti ikan dan mutiara.Menurut Perkembangannya, desa juga dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: (1) desa swadaya, desa ini merupakan desa yang memiliki potensi khusus yang dikelola dengan baik sehingga bisa membantu perekonomian warga di sana. Desa tipe ini juga busa dikategorikan sebagai desa yang terpencil dan masih sangat tradisional; (2) desa swakarya, desa swakarya merupakan desa peralihan atau transisi antara desa swadaya ke desa swasembada, sehingga kondisinya sudah lebih maju daripada desa tipe swadaya; (3) desa swasembada, desa swasembada adalah desa yang masyarakatnya telah mampu memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan potensinya sesuai dengan kegiatan pembangunan regional. Biasanya desa ini berlokasi di ibukota dan kecamatan dengan penduduk yang lebih padat. Kemudian yang terakhir adalah desa menurut ikatannya. Menurut Ikatannya, desa juga dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu: (1) desa geneanalogis, yaitu desa yang dipersatukan dengan penduduk yang memiliki hubungan kekeluargaan atau hubungan darah; (2) desa teritorial, yaitu desa yang dipersatukan oleh kesamaan kepentingan dan wilayah dengan batas-batas tertentu; dan (3) desa campuran, yaitu desa yang dipersatukan baik dari hubungan daerah atau kesamaan kepentingan.
            
               Di desa juga memiliki potensi-potensi yang jika dikembangkan dan dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat yang cukup besar untuk Indonesia. Potensi desa diantaranya yaitu potensi fisik, potensi non fisik, potensi desa menurut luas wilayah, dan potensi desa menurut tingkat penduduknya. Potensi fisik yang dimiliki desa meliputi iklim dan cuaca, flora dan fauna, tanah, dan juga air. Untuk potensi non fisik yaitu SDM Desa, lembaga-lembaga sosial desa, dan aparatur desa. Kemudian untuk potensi desa menurut luas wilayah dibagai menjadi desa terkecil dengan luas wilayah kurang dari 2km, desa kecil dengan luas wilayah antara 2km - 4km, desa sedang dengan luas wilayah antara 4km-6km, desa besar dengan luas wilayah 6km - 8km, dan desa terbesar dengan luas wilayah 8km - 10km. Kemudian terakhir pengelompokan desa menurut tingkat penduduknya. Menurut tingkat penduduknya desa dikelompokkan menjadi desa terkecil dengan kepadatan penduduk kurang dari 100 jiwa/km, desa kecil dengan kepadatan penduduk antara 100-500 jiwa/km, desa sedang dengan kepadatan penduduk antara 500-1.500 jiwa/ km, desa besar dengan kepadatan penduduk antara 1500-3000 jiwa/ km, dan desa terbesar dengan kepadatan penduduk antara 3000-4500 jiwa/ km.

           Antara desa dan kota memiliki beberapa perbedaan, diantaranya yaitu pertama, dari segi kepadatan penduduk, penduduk kota lebih banyak daripada di desa. Hal ini disebabkan karena biasanya penduduk desa pergi ke kota untuk mencari pekerjaan di sana. Kedua,  perbedaan lingkungan hidup di desa bisanya masih dekat dengan lingkungan alam asli atau alam bebas, sedangkan di kota lingkungannya lebih banyak didominasi oleh gedung-gedung tinggi. Ketiga, sistem perekonomiannya pun berbeda. Di desa, sektor perekonomian primer seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, hingga peternakan lebih berkembang, sementara di kota sektor perekonomian sekunder lah yang lebih berkembang. Keempat, stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial di kota terlihat lebih mencolok daripada di desa. Kelima, corak kehidupan. Corak kehidupan di desa lebih homogen sedangkan di kota cenderung heterogen. Keenam, pola interaksi. Di kota, biasanya masyarakatnya tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat sekitarnya atau bahkan dengan tetangganya sendiri, sedangkan di desa cenderung membangun atau memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat sekitar ataupun tetangganya. Terakhir, perbedaan yang ketujuh adalah dari segi solidaritas sosial yang dipengaruhi oleh pola interaksi yang berlangsung di desa atau kota. Di kota, kecenderungan mendapatkan konflik lebih tinggi karena masyarakatnya bersifat individualis dan mementingkan kepentingan pribadi.

         Walaupun desa memiliki hak untuk mengatur daerahnya sendiri, bukan berarti antara desa dengan kabupaten/kota dan antara desa dengan camat/kecamatan tidak saling berhubungan. Dalam pola hubungan antara pemerintah daerah, kabupaten/kota melakukan penyelenggaraan penataan desa, memfasilitasi kerja sama antar desa dalam satu daerah kabupaten/kota, membina dan mengawasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa serta pemberdayaan masyarakat desa dan lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang pemberdayaan desa serta lembaga adat tingkat desa. Sedangkan hubungan antara desa dengan camat/kecamatan, camat/kecamatan melakukan fasilitasi, penetapan, pembinaan, pengawasan, rekomendasi, evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa dan mengkoordinasikan pemberdayaan masyarakat desa.

        Desa sebagai bentuk pemerintahan terkecil di Indonesia jika dikelola dengan baik, baik dari segi pemerintahan, lingkungan, atau sumber daya manusianya, berpotensi mendatangkan keuntungan untuk desa itu sendiri, masyarakatnya, bahkan untuk pemerintah pusat. Misalnya, di desa biasanya banyak tempat-tempat yang berpotensi untuk daerah wisata, seperti perkebunan teh, gunung-gunung, pantai, dsb. Yang jika dikelola dengan baik, akan mendatangkan banyak pengunjung yang kemudian menghasilkan pendapatan daerah yang sangat bermanfaaat. Di desa pula, banyak hal yang tidak dapat kita temukan ketika kita telah meninggalkan desa dan tinggal di kota, hal tersebut seperti udaranya yang sejuk, solidaritas masyarakatnya yang masih tinggi, dan adat istiadat yang masih kental.

DAFTAR REFERENSI :
[1] Akbar Prabawa, “Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Pembangunan di Desa Loa Lepu Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara”. e-journal ilmu pemerintahan. Vol.3 No.1, 2015, 229.
[2] Awn Cybeer, “Sejarah Terbentuknya Desa”, diakses dari https://www.scribd.com/doc/60566439/Sejarah-Terbentuknya-Desa
[3] Rendyta Anggraini, “Sistem Pemerintahan Desa dan Kelurahan ‘Perkembangan dan Pertumbuhan Desa’‘’ (Makalah merupakan tugas dari mahasiswa Instutur Pemerintahan Dalam Negeri Kampus Regional Nusa Tenggara Barat Tahun Ajaran 2014-2015), hlm.2.
[4] Ranti Fatya Utami, “11 Undang-undang yang Mengatur Pemerintahan Daerah di Indonesia”, diakses melalui web https://guruppkn.com/undang-undang-yang-mengatur-pemerintahan-daerah
[5] Utroq Trieha, “Inilah Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014”, diakses melalui web diakses melalui web http://ensiklo.com/2015/02/18/inilah-undang-undang-desa-nomor-6-tahun-2014/
[6] Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Bab IV pasal 18 dan pasal 19.
[7] Tiffany Ayano, “3 Klasifikasi Desa – Potensi, Fungsi, dan Ciri-ciri Desa (#Paling Lengkap)”, diakses melalui web https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/klasifikasi-desa
[8] Sintya Ayu Wardani, “7 Perbedaan Desa dan Kota dalam Kehidupannya”, diakses melalui web https://materiips.com/perbedaan-desa-dan-kota
[9] Bagian Pemerintahan Setda Kab.Lamongan, “Hubungan Pemerintah Daerah, Kecamatan, dan Desa”, hlm. 39. (makalah dapat diakses melalui web https://lamongankab.go.id/wp-content/uploads/sites/49/2016/12/3.-bagpem-Hubungan-Daerah-Kecamatan-Desa.pdf)