Menurut Soetardjo, yang dikatakan dalam Wasistiono 2006:7, desa yang ada
di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Herman Warner Muntinghe yang
merupakan seorang warga Belanda anggota dari Rad Van Indie pada masa
kolonial Inggris, dia merupakan pembantu Gubernur Jendral Inggris yang
berkuasa pada tahun 1817 di Indonesia. Dalam laporannya pada 14 Juli
1817 yang ditujukan kepada pemerintahannya, disebutkan tentang adanya
desa-desa di daerah pesisir pulau Jawa dan kemudian ditemukan pula desa
di luar kepulauan Jawa.[1] Mengenai sejarah terbentuknya desa itu
sendiri, tidak ditemukan sumber yang pasti yang menjelaskan hal
tersebut, namun mengacu pada prasasti Kawali di Jawa Barat sekitar tahun
1350M, dan prasasti Walandit di daerah Tengger di Jawa Timur pada tahun
1381 M, desa sebagai unit terendah dalam struktur pemerintahan
Indonesia telah ada sejak lama dan murni dibentuk oleh rakyat
Indonesia, bukan bentukan atau warisan Belanda. Ada pula yang
berpendapat bahwa terbentuknya desa itu diawali terlebih dahulu dengan
terbentuknya kelompok masyarakat dikarenakan sifat manusia sebagai
makhluk sosial, dorongan kodrat, atau sekeliling manusia, kepentingan
yang sama, dan adanya bahaya dari luar.
Walaupun sejarah terbentuknya desa tidak diketahui secara pasti, namun
sejarah perkembangan pemerintahan desa bisa kita pelajari. Sejarah
pemerintahan desa dapat dikelompokkan ke dalam empat periode, yaitu:
desa pada masa kerajaan, desa pada masa kolonial, desa pada pasca
kemerdekaan, desa pada masa orde baru, dan desa pasca orde baru. Pada
masa kerajaan, desa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu desa alami dan
desa perdikan. Sedangkan pada masa kolonial atau yang sering disebut
dengan Pemerintahan Hindia Belanda, desa atau pemerintahan desa diatur
dalam pasal 118 jo pasal 121 I.S. yaitu Undang-undang Dasar Hindia
Belanda. Dalam pasal ini, pada intinya menjelaskan bahwa penduduk negeri
atau asli dibiarkan menghadap langsung kepada pimpinannya
sendiri,sedangkan untuk aturan yang lebih lengkap dan jelas diatur dalam
aturan yang disebut dengan IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie
Buitengewesten) LN 1938 No. 490. Aturan ini berlaku sejak 1 Januari 1939
LN 1938 No. 681.
Berdasarkan ketatanegaraan Hindia Belanda, sebagaimana yang tersurat
dalam Indische Staatsrwgwling, pemerintah Hindia Belanda memberikan hak
untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-kesatuan
Masyarakat Hukum "Pribumi" dengan sebutan Inlandsche gementee yang
terdiri dari dua bentuk, yaitu Swapraja dan Desa atau yang dipersamakan
dengan desa. Kemudian untuk swapraja yang merupakan bekas
kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan, mereka masih diberi
kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri (self
bestuur) berdasarkan hukum adatnya dengan pengawasan penguasa-penguasa
Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, yang
disebut dengan nama Landshcap. Sedangkan bagi desa-desa atau yang disama
ratakan dengan desa, yaitu mereka yang tergabung dalam
Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura, dan Bali,
mereka disebut dengan Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R. Untuk
kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme
maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan perumusan tentang
sebutan Inlandsche Gemeente yaitu: suatu kesatuan masyarakat yang
bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang mempunyai hak
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat
dan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu,
dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah
kabupaten dan swapraja.
Ketika masa penjajahan Belanda, ada peraturan perundang-undangan tentang
desa, yang dinamakan dengan Inlandsche Gementee Ordonantie (IGO),
undang-undang ini berlaku untuk Jawa dan Madura dan Inlandsche Gementee
Ordonantie voor Buitengewesten untuk daerah-daerah di luar Jawa dan
Madura yang berlaku ketika tahun 1906. Undang-undang ini adalah
lanjutan dari adanya pasal 71 REGERINGS REGLEMENT (RR) yang dikeluarkan
pada tahun 1854 sebagai bentuk pengakuan terhadap adanya desa,
demokrasi, dan otonomi desa, dan pada tahun ini, pemerintah Kolonial
Belanda juga mengeluarkan "Regeeringsreglement" yang merupakan cikal
bakal pengaturan tentag daerah dan desa. Pada tahun 1941, Belanda
mempertinggi status desa dengan mengeluarkan Desa Ordonantie. Desa
diberi keluasan untuk berkembang menurut potensi dan kondisinya sendiri.
Desa diberi wewenang untuk berkembang menurut potensi dan kondisinya
sendiri.
Sedangkan pada masa kolonial Jepang, pemerintahan desa digunakan untuk
sumber tenaga dan sumber logistik perang Jepang melawan sekutu. Rakyat
dimanfaatkan tenaganya secara paksa, dan kepala desa dijadikan pengawas
rakyat. Pada masa kolonial Jepang, hukum adat tidak diganggu ataupun
dihapuskan, selama itu tidak merugikan Jepang. Selama penjajahan Jepang,
I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus berlaku, hanya penyebutan nama
kepala desa diseragamkan menjadi Kuco, dan cara pemilhan dan
pemberhentiannya diatur oleh Osamu Seirei No.7 tahun 2604 (1944).
Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital untuk
memenangkan "Perang Asia Timur Raya".
Kemudian desa pada pasca kemerdakaan, hanya terdapat satu Undang-undang,
yaitu UU No.19 tahun 1965 yang dikeluarkan pada masa Soekarno yang
berisi tentang pencabutan desa perdikan. Setelah itu pada masa orde
baru, dikeluarkan Surat Edaran Mendagri No.5/1/1969, yang menyatakan
bahwa desa dan daerah setingkat secara hirarkis langsung dibawah camat
dan dikeluarkan pula UU No. 5 tahun 1979 tentang penyeragaman desa.
Selanjutnya pada masa reformasi atau pasca orde baru, terjadi perubahan
paradigma penyelenggaraan pemerintah yang membuat dikeluarkannya UU
No.22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat
hukum untuk mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan asal-usul dan
diakui pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Mengenai regulasi peraturan perundangan tentang desa, setau saya setelah
belajar tentang pemerintah desa, tidak banyak Undang-undang yang khusus
membahas tentang desa. Hanya ada empat Undang-undang yang membahas
yaitu UU No.19 tahun 1965, UU No.5 tahun 1979, UU No.22 tahun 1999 dan
yang terbaru UU No. 6 tahun 2014. Selain itu, juga ada dua Peraturan
Pemerintah yang mengatur tentang desa, yaitu PP No.76 tahun 2001 dan PP
No.77 tahun 2005. Mengenai UU No.19 tahun 1965, UU ini mngatur tentang
desa praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terbentuknya
daerah tingkat III di seluruh wilayah Indonesia. Terbentuknya UU ini juga merupakan akibat dari dilakukannya dekrit
presiden pada tanggal 5 Juli 1959, sehingga segala peraturan perundangan
tentang desa yang masih mengandung sifat feodal harus diganti dengan UU
ini. Kemudian tentang UU No.5 tahun 1979, UU ini merupakan UU yang
mengganti UU No.19 tahun 1965 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan
kondisi ketatanegaraan yang ada di Indonesia. Setelah dibentuknya UU
ini, diharapkan mampu menyeragamkan kedudukan pemerintahan desa dengan
tetap mengindahkan keragaman kondisi desa dan ketentuan adat istiadat
yang masih berlaku.
Selanjutnya ada UU No.22 tahun 1999 yang mulai diberlakukan pada era
demokrasi reformasi. Dalam UU ini disebutkan bahwa jenis dan tingkatan
daerah yang berlaku yaitu daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Kemudian
yang terbaru ada UU No.6 tahun 2014 yang ditandatangani pada 15 Januari
2014. Pembahasan yang ada dalam UU ini mengenai Asas Pengaturan,
Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak
dan Kewajiban Desa dan Masayarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa,
dan Aset Desa, Kedudukan dan Jenis Desa, Pembangunan Desa dan
Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa), Kerja
Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta
Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, UU Desa juga mengatur ketentuan khusus yang diberlakukan untuk desa adat yang diatur dalam Bab XIII pada UU ini.
Sesuai dengan UU No.6 tahun 2014, desa memiliki beberapa wewenang yang
dituangkan dalam BAB IV. Misalnya seperti yang tertulis dalam BAB IV
Pasal 18, kewenangan yang dimiliki desa diklasifikasikan menjadi
kewenangan di bagian penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan
pembangunan desa, pembinaan masyarakat desa, dan pemberdayaan masyarakat
desa yang didasarkan atas prakarsa masyarakat, hak asal-usul, serta
adat istiadat desa. Selanjutnya, pada pasal selanjutnya (pasal 19)
disebutkan lagi bahwa kewenangan desa meliputi: (a) kewenangan
berdasarkan hak asal-usul; (b) kewenangan lokal berskala desa; (c) kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Kabupaten/Kota; dan terakhir (d) Kewenangan lain yang
ditugaskan oleh pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Keberadaan desa juga memiliki fungsi untuk Indonesia, diantaranya yaitu:
(1) desa sabagai hinterland, artinya adalah desa biasanya akan lebih
banyak memproduksi daripada mengkonsumsi; (2) desa sebagai sumber
tenaga, dikatakan sebagai sumber tenaga karena biasanya masyarakat desa
merantau untuk mencari pekerjaan di kota dan banyak perusahaan yang
mencari tenaga kerja dari pedesaan; (3) desa sebagai bentuk
pemerintahan, desa merupakan bentuk pemerintahan terkecil di Indonesia;
dan (4) desa merupakan mitra, karena tanpa disadari desa merupakan awal
dari terbentuknya kota, maka dari itu sebuah kota bisa maju atau tidak
bermula dari titik desa, oleh karena itu desa bisa disebut sebagai mitra
bagi pembangunan sebuah kota. Masyarakat desa bisa ditandai dengan
adanya ciri-ciri sebagai berikut: (a) sisi keagamaan masyarakat desa
lebih tinggi daripada masyarakat kota, dan juga cenderung lebih rukun
serta mengenal sesama dengan baik; (b) memiliki kehidupan sosial yang
sangat tinggi; (c) pembagian kerjanya lebih sederhana; (d) pekerjaan
masyarakatnya homogen sehingga untuk mendapatkan pekerjaan lebih susah;
(e) interaksi yang terjadi lebih banyak karena faktor pribadi, bukan
kepentingan; dan (f) perubahan sosial dari masyarakat desa tidak terlalu
terlihat.
Desa juga memiliki beberapa jenis yang dapat diklasifikasikan dalam tiga
kelompok. Yaitu klasifikasi desa menurut aktivitasnya, perkembangannya,
dan menurut ikatannya. Menurut Aktivitasnya, desa dibagi menjadi tiga
jenis, yaitu: (1) desa agraris yang berisikan masyarakat yang bermata
pencaharian utama sebagai petani atay pemilik dan pengelola kebun; (2)
desa industri, di desa ini masyarakatnya memilik pekerjaan utama di
bidang insdutri baik yang berukuran kecil atau besar. contohnya seperti
desa penghasil sandal cibaduyut di Bandung atau desa yang menjual telur
asin di Brebes; (3) desa nelayan, di desa ini masyarakat menggantungkan
hidupnya dari bekerja di laut, seperti menjadi nelayan, peternak ikan
atau tambak, dan mengolah hasil laut seperti ikan dan mutiara.Menurut Perkembangannya, desa juga dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: (1)
desa swadaya, desa ini merupakan desa yang memiliki potensi khusus yang
dikelola dengan baik sehingga bisa membantu perekonomian warga di sana.
Desa tipe ini juga busa dikategorikan sebagai desa yang terpencil dan
masih sangat tradisional; (2) desa swakarya, desa swakarya merupakan
desa peralihan atau transisi antara desa swadaya ke desa swasembada,
sehingga kondisinya sudah lebih maju daripada desa tipe swadaya; (3)
desa swasembada, desa swasembada adalah desa yang masyarakatnya telah
mampu memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan potensinya
sesuai dengan kegiatan pembangunan regional. Biasanya desa ini berlokasi
di ibukota dan kecamatan dengan penduduk yang lebih padat. Kemudian
yang terakhir adalah desa menurut ikatannya. Menurut Ikatannya, desa
juga dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu: (1) desa geneanalogis, yaitu
desa yang dipersatukan dengan penduduk yang memiliki hubungan
kekeluargaan atau hubungan darah; (2) desa teritorial, yaitu desa yang
dipersatukan oleh kesamaan kepentingan dan wilayah dengan batas-batas
tertentu; dan (3) desa campuran, yaitu desa yang dipersatukan baik dari
hubungan daerah atau kesamaan kepentingan.
Di desa juga memiliki potensi-potensi yang jika dikembangkan dan dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat yang cukup besar untuk Indonesia. Potensi desa diantaranya yaitu potensi fisik, potensi non fisik, potensi desa menurut luas wilayah, dan potensi desa menurut tingkat penduduknya. Potensi fisik yang dimiliki desa meliputi iklim dan cuaca, flora dan fauna, tanah, dan juga air. Untuk potensi non fisik yaitu SDM Desa, lembaga-lembaga sosial desa, dan aparatur desa. Kemudian untuk potensi desa menurut luas wilayah dibagai menjadi desa terkecil dengan luas wilayah kurang dari 2km, desa kecil dengan luas wilayah antara 2km - 4km, desa sedang dengan luas wilayah antara 4km-6km, desa besar dengan luas wilayah 6km - 8km, dan desa terbesar dengan luas wilayah 8km - 10km. Kemudian terakhir pengelompokan desa menurut tingkat penduduknya. Menurut tingkat penduduknya desa dikelompokkan menjadi desa terkecil dengan kepadatan penduduk kurang dari 100 jiwa/km, desa kecil dengan kepadatan penduduk antara 100-500 jiwa/km, desa sedang dengan kepadatan penduduk antara 500-1.500 jiwa/ km, desa besar dengan kepadatan penduduk antara 1500-3000 jiwa/ km, dan desa terbesar dengan kepadatan penduduk antara 3000-4500 jiwa/ km.
Antara desa dan kota memiliki beberapa perbedaan, diantaranya yaitu pertama, dari segi kepadatan penduduk, penduduk kota lebih banyak daripada di desa. Hal ini disebabkan karena biasanya penduduk desa pergi ke kota untuk mencari pekerjaan di sana. Kedua, perbedaan lingkungan hidup di desa bisanya masih dekat dengan lingkungan alam asli atau alam bebas, sedangkan di kota lingkungannya lebih banyak didominasi oleh gedung-gedung tinggi. Ketiga, sistem perekonomiannya pun berbeda. Di desa, sektor perekonomian primer seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, hingga peternakan lebih berkembang, sementara di kota sektor perekonomian sekunder lah yang lebih berkembang. Keempat, stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial di kota terlihat lebih mencolok daripada di desa. Kelima, corak kehidupan. Corak kehidupan di desa lebih homogen sedangkan di kota cenderung heterogen. Keenam, pola interaksi. Di kota, biasanya masyarakatnya tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat sekitarnya atau bahkan dengan tetangganya sendiri, sedangkan di desa cenderung membangun atau memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat sekitar ataupun tetangganya. Terakhir, perbedaan yang ketujuh adalah dari segi solidaritas sosial yang dipengaruhi oleh pola interaksi yang berlangsung di desa atau kota. Di kota, kecenderungan mendapatkan konflik lebih tinggi karena masyarakatnya bersifat individualis dan mementingkan kepentingan pribadi.
Walaupun desa memiliki hak untuk mengatur daerahnya sendiri, bukan berarti antara desa dengan kabupaten/kota dan antara desa dengan camat/kecamatan tidak saling berhubungan. Dalam pola hubungan antara pemerintah daerah, kabupaten/kota melakukan penyelenggaraan penataan desa, memfasilitasi kerja sama antar desa dalam satu daerah kabupaten/kota, membina dan mengawasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa serta pemberdayaan masyarakat desa dan lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang pemberdayaan desa serta lembaga adat tingkat desa. Sedangkan hubungan antara desa dengan camat/kecamatan, camat/kecamatan melakukan fasilitasi, penetapan, pembinaan, pengawasan, rekomendasi, evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa dan mengkoordinasikan pemberdayaan masyarakat desa.
Desa sebagai bentuk pemerintahan terkecil di Indonesia jika dikelola dengan baik, baik dari segi pemerintahan, lingkungan, atau sumber daya manusianya, berpotensi mendatangkan keuntungan untuk desa itu sendiri, masyarakatnya, bahkan untuk pemerintah pusat. Misalnya, di desa biasanya banyak tempat-tempat yang berpotensi untuk daerah wisata, seperti perkebunan teh, gunung-gunung, pantai, dsb. Yang jika dikelola dengan baik, akan mendatangkan banyak pengunjung yang kemudian menghasilkan pendapatan daerah yang sangat bermanfaaat. Di desa pula, banyak hal yang tidak dapat kita temukan ketika kita telah meninggalkan desa dan tinggal di kota, hal tersebut seperti udaranya yang sejuk, solidaritas masyarakatnya yang masih tinggi, dan adat istiadat yang masih kental.
DAFTAR REFERENSI :
[1] Akbar Prabawa, “Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Pembangunan di Desa Loa Lepu Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara”. e-journal ilmu pemerintahan. Vol.3 No.1, 2015, 229.
[2] Awn Cybeer, “Sejarah Terbentuknya Desa”, diakses dari https://www.scribd.com/doc/60566439/Sejarah-Terbentuknya-Desa
[3] Rendyta Anggraini, “Sistem Pemerintahan Desa dan Kelurahan ‘Perkembangan dan Pertumbuhan Desa’‘’ (Makalah merupakan tugas dari mahasiswa Instutur Pemerintahan Dalam Negeri Kampus Regional Nusa Tenggara Barat Tahun Ajaran 2014-2015), hlm.2.
[4] Ranti Fatya Utami, “11 Undang-undang yang Mengatur Pemerintahan Daerah di Indonesia”, diakses melalui web https://guruppkn.com/undang-undang-yang-mengatur-pemerintahan-daerah
[5] Utroq Trieha, “Inilah Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014”, diakses melalui web diakses melalui web http://ensiklo.com/2015/02/18/inilah-undang-undang-desa-nomor-6-tahun-2014/
[6] Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Bab IV pasal 18 dan pasal 19.
[7] Tiffany Ayano, “3 Klasifikasi Desa – Potensi, Fungsi, dan Ciri-ciri Desa (#Paling Lengkap)”, diakses melalui web https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/klasifikasi-desa
[8] Sintya Ayu Wardani, “7 Perbedaan Desa dan Kota dalam Kehidupannya”, diakses melalui web https://materiips.com/perbedaan-desa-dan-kota
[9] Bagian Pemerintahan Setda Kab.Lamongan, “Hubungan Pemerintah Daerah, Kecamatan, dan Desa”, hlm. 39. (makalah dapat diakses melalui web https://lamongankab.go.id/wp-content/uploads/sites/49/2016/12/3.-bagpem-Hubungan-Daerah-Kecamatan-Desa.pdf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar