Dari segi etimologi, kata Desa berasal dari bahasa sansekerta yaitu berasal dari kata Deshi yang artinya “Tanah Kelahiran” atau “Tanah Tumpah Darah”. Selanjutnya dari kata Deshi itu terbentuk kata Desa (Kartohadikusumo, 1988 : 16) Desa adalah sebagai tempat tinggal kelompok atau sebagai masyarakat hukum dan wilayah daerah kesatuan administratif, wujud sebagai kediaman beserta tanah pertanian, daerah perikanan, tanah sawah, tanah pangonan, hutan blukar, dapat juga wilayah yang berlokasi ditepi lautan/danau/sungai/irigasi/ pegunugan, yang keseluruhannya merupakan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Hak Ulayat Masyarakat Desa ( Kartohadikusumo, 1988 : 16 ). Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa Desa tidak lagi merupakan wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksanaan daerah, tetapi menjadi daerah yang istimewa dan bersifat mandiri yang berada dalam wilayah Kabupaten sehingga setiap warga Desa berhak berbicara atas kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup dilingkungan masyarakatnya.
Pemerintah Desa menurut Dra. Sumber Saparin dalam bukunya “Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa”, menyatakan bahwa: “Pemerintah Desa ialah merupakan simbol formal daripada kesatuan masyarakat desa. Pemerintah desa diselengarakan di bawah pimpinan seorang kepala desa beserta para pembantunya (Perangkat Desa), mewakili masyarakat desa guna hubungan ke luar maupun ke dalam masyarakat yang bersangkutan”. Sedangkan pengertian Pemerintah Desa menurut Peraturan Daerah tentang Pedoman Organisasi Pemerintah Desa, yang menyatakan bahwa Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa.
Sedangkan secara terminologis desa sebagai entitas sosial sangat beragam, yaitu sesuai dengan maksud dan sudut pandang yang hendak digunakan. Sebutan desa dapat berupa konsep tanpa makna politik, namun juga dapat berarti suatu posisi politik dan sekaligus kualitas posisi dihadapan pihak atau kekuatan lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa desa adalah :
(1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan kampung, dusun;
(2) udik atau dusun, dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota;
(3) tempat, tanah, daerah.
(1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan kampung, dusun;
(2) udik atau dusun, dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota;
(3) tempat, tanah, daerah.
Secara ekonomi yang lebih menekankan sisi produksi, melihat desa sebagai komunitas masyarakat yang memiliki model produksi yang khas dan merupakan lumbung bahan mentah (raw material) dan sumber tenaga kerja (man power). Desa-desa di Jawa banyak berfungsi sebagai desa agraris yang menunjukkan perkembangan baru yaitu timbulnya industri-industri kecil di daerah pedesaan (rural industries). Mohamad Hatta, sebagaimana dikutip Tjiptoherianto dikatakan: “di desa-desa sistem demokrasi yang masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian dari adat istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama sewaktu mengadakan kegiatan ekonomi”. Secara sosiologis, desa digambarkan sebagai bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan yang saling mengenal. corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam, mempunyai sifat sederhana dengan ikatan sosial dan adat serta tradisi yang kuat.
Sedang secara yuridis dan politis, yang lebih menekankan kepada tata aturan yang menjadi dasar pengaturan kehidupan masyarakat, terdapat dua konsep desa, yaitu : Desa yang diakui, yakni Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang disebut dengan nama-nama setempat dan Desa dibentuk, yakni desa yang diakui oleh pemerintah berdasarkan UU. Hal ini berarti bahwa desa dipandang sebagai suatu pemerintahan terendah di Indonesia atau kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai identitas dan entitas yang berbeda-beda, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa atau memiliki wewenang mengadakan pemerintahan sendiri.
Sedangkan dari perspektif historis, desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum negara-bangsa modern ini terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Desa-desa yang beragam di seluruh Indonesia sejak dulu merupakan basis penghidupan masyarakat setempat, yang notabene mempunyai otonomi dalam mengelola tatakuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumberdaya ekonomi. Dilihat dari perspektif terminologis, ekonomis, sosiologis, yuridis, politis dan historis di atas, desa pada hakekatnya merupakan bentuk pemerintahan yang riil, demokratis, otonom dengan tradisi, adat-istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar sangat kuat, serta relatif mandiri dari ”campur tangan” entitas kekuasaan dari luar.
Pemerintahan Desa merupakan bagian dari Pemerintahan Nasional yang penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Pemerintah Desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyrakat (Maria Eni Surasih, 2002: 23). Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah berlaku kebijakan Pemerintah Desa dengan Undang-Undang Pemerintah Desa No. 5 Tahun 1979 yang menyatakan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan tersebut memuat konsep hak untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, namun juga disebutkan bahwa desa merupakan organisasi pemerintahan terendah dibawah camat.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul desanya. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipandang terlalu liberal dan federalistik, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan NKRI. Pembagian kewenangan terlalu mutlak pada daerah membuat perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerahah tidak proporsional, sehingga kontrol pusat dan provinsi terhadap daerah hilang. Dikhawatirkan Undang-Undang ini rentan melahirkan konflik dan masalah ditengah masyarakat. Karena berbagai kelemahan tersebut, maka UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah diganti dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam konteks otonomi desa terdapat perbedaan mendasar antara UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Terdapat perubahan positif dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga peraturan pelaksananya yaitu PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dapat mendorong peningkatan otonomi lokal dan desa, antara lain :
a. Ditentukannya pemilihan langsung bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 56 sampai119. Model pemilihan langsung ini membawa banyak keuntungan terutama dalam rangka demokratisasi, dimana aspirasi rakyat tidak mungkin lagi direduksi oleh kekuatan parpol.
b. Pengaturan tentang kewenangan yang menurut pasal 206 j o. Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, rasanya lebih komprehensif, karena implikasi yuridisnya juga diatur dalam pasal 10 ayat 3 dimana desa mempunyai hak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
c. Dalam pengaturan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menegaskan bahwa daerah akan mendapatkan bagian (alokasi). Hal itu tentu berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang menggunakan istilah bantuan keuangan. Bagian keuangan desa secara relatif pasti telah ditentukan dalam pasal 68 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa,yaitu sebesar minimal 10% dari hasil bagi pajak daerah dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota.
a. Ditentukannya pemilihan langsung bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 56 sampai119. Model pemilihan langsung ini membawa banyak keuntungan terutama dalam rangka demokratisasi, dimana aspirasi rakyat tidak mungkin lagi direduksi oleh kekuatan parpol.
b. Pengaturan tentang kewenangan yang menurut pasal 206 j o. Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, rasanya lebih komprehensif, karena implikasi yuridisnya juga diatur dalam pasal 10 ayat 3 dimana desa mempunyai hak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
c. Dalam pengaturan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menegaskan bahwa daerah akan mendapatkan bagian (alokasi). Hal itu tentu berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang menggunakan istilah bantuan keuangan. Bagian keuangan desa secara relatif pasti telah ditentukan dalam pasal 68 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa,yaitu sebesar minimal 10% dari hasil bagi pajak daerah dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar