Semua berangkat dari cara pandang (perspektif). Cara
pandang membimbing kebijakan, regulasi, program dan tindakan. Hitam putihdesa
selama ini tentu juga tidak lu put dari cara pandang para pihak.Ada banyak cara
pandang terhadap desa, namun kami hendak membeberkantiga cara pandang
dominan.Pertama, cara pandang yang melihat desa sebagai kampung halaman. Ini
muncul dari banyak orang yang telah me rantau jauh dari desa kampung
halamannya, baik melalui jalur urbanisasi, transmigrasi atau mobilitas sosial.
Para petinggi maupun orang-orang sukses dikota-kota besar begitu bangga
menyebut dirinya “orang desa” danbangga bernostalgia dengan cara bercerita
tentang kampung halamannya yang tertinggal dan bersahaja. Fenomena mudik
lebaran yanghingar bingar, tetapi juga membawa korban jiwa yang tidak
sedikit,setiap tahun juga menjadi contoh terkemuka tentang nostalgia
paraperantau terhadap kampung halamannya dan sanak saudaranya. Cara pandang ini
tidak salah. Tetapi di balik cara pandang personal itu tentuada yang salah
dalam pembangunan, mengapa urbanisasi terus mengalir,mengapa pembangunan bias
kota, mengapa desa tidak mampu memberikan kehidupan dan penghidupan.
Kedua, cara pandang pemerintahan yang melihat desa sebagaiwilayah
administrasi dan organisasi pemerintahan paling kecil, paling bawah dan paling
rendah dalam hirarkhi pemerintahan di Indonesia.Ketiga, cara pandang
libertarian yang memandang desa sebagai masyarakat tanpa pemerintah dan
pemerintahan. Cara pandang iniyang melahirkan program-program pemberdayaan
masuk ke desadengan membawa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang
diberikankepada kelompok-kelompok masyarakat, seraya mengabaikandan
meminggirkan institusi desa.
Ketiga cara pandang itu tidak memiliki sebuah imajinasi tentangdesa
sebagai “negara kecil”. Desa bukan sekadar kampung halaman,pemukiman penduduk,
perkumpulan komunitas, pemerintahan terendahdan wilayah administratif semata.
Desa laksana “negara kecil” yangmempunyai wilayah, kekuasaan, pemerintahan,
institusi lokal, penduduk,rakyat, warga, masyarakat, tanah dan sumberdaya
ekonomi.Setiap orang terikat secara sosiometrik dengan masyarakat,
institusilokal dan pemerintah desa. Tidak ada satupun elemen desa yang
luputdari ikatan dan kontrol desa. Survai Bank Dunia, Justice for the
Poor(2007), misalnya, memperlihatkan bahwa warga lebih banyak memilih kepala
desa (42%) dan tokoh masyarakat (35%) ketimbang pengadilan(4%), dalam
menyelesaikan masalah dan mencari keadilan.
Melalui regulasi itu pemerintah selama ini menciptakan desa
sebagaipemerintahan semu (pseudo government). Posisi desa tidakjelas, apakah
sebagai pemerintah atau sebagai komunitas. Kepaladesa memang memperoleh mandat
dari rakyat desa, dan desa memangmemiliki pemerintahan, tetapi bukan peme
rintahan yang palingbawah, paling depan dan paling dekat de ngan masyarakat.
Pemerintahdesa adalah organisasi korporatis yang menjalankan tugas
pembantuandari pemerintah, mulai dari tugas-tugas administratif hinggapendataan
dan pembagian beras miskin kepada warga masyarakat.Dengan kalimat lain, desa
memiliki banyak kewajiban ketimbang kewenangan,atau desa lebih banyak
menjalankan tugas-tugas dari atas ketimbang menjalankan mandat dari rakyat
desa. Karena itu pemerintahdesa dan masyarakat desa bukanlah entitas yang
menyatu secarakolektif seperti kesatuan masyarakat hukum, tetapi sebagai dua
aktoryang saling berhadap-hadapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar